Pemasangan poster antihoax di sekolah |
Tingginya penggunaan media sosial yang tidak diikuti dengan kemampuan literasi digital menyebabkan berkembangnya berita hoax atau bohong. Berdasarkan survey Statista tahun 2015 mengenai penggunaan internet di kalangan remaja usia 13 – 17 tahun, media sosial yang paling sering diakses meliputi facebook (14%), WhatsApp (12%), Twitter (11%), Facebook Messenger dan Google+ (9%), LinkedIn dan Instagram (7%), dan masing-masing Skype, Pinterest dan Line (6%). Hal itu tidak jauh berbeda dengan survey dari pewinternet.com tahun 2015 bahwa 93% pengguna internet usia 12 – 17 tahun adalah untuk aktifitas media sosial.
Media sosial merupakan sarana yang paling sering digunakan untuk berkomunikasi dan menyebarkan informasi, memberikan penilaian dan memberi komentar terhadap berita. Sudah banyak pengalaman pengguna media sosial yang termakan oleh berita hoax, misalnya Tifatul Sembiring, mantan menkominfo yang ikut menyebarkan foto tentang tragedi memilukan yang sedang dialami etnis Rohingya. Celakanya, foto yang disebarkan adalah bukan kejadian yang sebenarnya menimpa etnis Rohingya namun foto dari tragedi Tak Bai Incident.
Demikian juga Mehmet Simsek, Wakil Perdana Menteri Turki yang juga ikut menyebarkan foto hoax tragedi Rohingya. Media China Xinhua News juga pernah ikut menyebarkan berita hoax tentang meletusnya Gunung Agung di Bali. Padahal gunung tersebut belum meletus, tetapi yang disebarkan melalui akun twitternya adalah letusan Gunung Sinabung tahun 2015.
Beragam motif dalam membuat kabar hoax antara lain faktor uang, politis, ideologis, kebencian, iseng dan mencari kesenangan. Berita hoax menjadi semakin merajalela karena kurangnya pengetahuan literasi digital sehingga mudah menyebarkannya kepada orang lain. Masifnya penyebaran hoax membuat sebagian masyarakat menganggap bahwa kabar bohong sebagai kebenaran. Korbannya tidak mengenal strata pendidikan dan usia, bahkan Anda juga mungkin pernah menjadi korban.
Sebagai pendidik, guru harus dapat menjadi contoh bagi peserta didik dan lingkungannya dalam menyikapi berita hoax. Sebagai contoh misalnya tidak terlibat pembuatan konten hoax termasuk menyebarkannya serta tidak menjadi korban dari berita hoax. Korban disini artinya menuruti tujuan pembuat berita sehingga terprovokasi dan tertipu. Apabila seorang pendidik terprovokasi atau pun tertipu kabar hoax, maka bagaimana dengan peserta didiknya.
Dampak berita hoax sangat merugikan korban ataupun lingkungan masyarakat. Pertama, mengakibatkan perpecahan dan konflik. Berita bohong yang bermuatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) berpotensi mengancam kerukunan dan memecah belah persatuan dengan cara menebar kebencian dan konflik. Apabila pembaca tersulut emosi dan sentimennya, maka tujuan pembuat berita hoax tercapai.
Kedua, mencemarkan nama baik dan reputasi. Nama baik seseorang, institusi atau perusahaan dapat menjadi jelek karena fitnah dari kabar hoax. Pembuat berita hoax tidak akan merevisi beritanya tetapi kita yang terkena getahnya. Upaya memulihkan nama baik sebagai korban hoax perlu waktu seiring dengan usaha melawan berita hoax tadi.
Ketiga, menambah penderitaan. Fakta, foto dan peristiwa yang bukan aslinya yang dimuat berita hoax akan menambah penderitaan korban karena masyarakat dihasut supaya tidak mempercayainya. Memang gambar yang dimuat bisa saja bombastis seperti gabungan foto asli dan bukan foto fakta sebenarnya dengan tujuan untuk meraih simpati dari pembaca. Akan tetapi setelah diketahui gambar berita itu hasil rekayasa foto maka pembaca jadi kurang simpati. Akhirnya korban peristiwa sebenarnya menjadi lebih menderita. Contoh terbaru yaitu informasi meletusnya Gunung Agung di Bali, padahal kenyataannya sejak ditetapkannya status waspada sampai sekarang (tanggal 14 Oktober 2017) belum meletus. Hal ini membingungkan masyarakat dan menambah ketidakpastian nasib pengungsi.
Keempat, menyita waktu dan produktivitas. Untuk membaca berita hoax dan mencari kebenarannya membutuhkan waktu sehingga menyita waktu efektif yang sebenarnya untuk produktivitas. Apabila sudah jelas merupakan kabar bohong, maka sebaiknya lewati saja dan tidak perlu membacanya.
Keempat, menyita waktu dan produktivitas. Untuk membaca berita hoax dan mencari kebenarannya membutuhkan waktu sehingga menyita waktu efektif yang sebenarnya untuk produktivitas. Apabila sudah jelas merupakan kabar bohong, maka sebaiknya lewati saja dan tidak perlu membacanya.
Kelima, merugikan secara finansial. Pembaca yang panik karena membaca berita hoax tentang anggota keluarganya berada di rumah sakit dan akan segera dioperasi sehingga membutuhkan beaya segera untuk ditransfer ke rekening pembuat berita hoax, apabila terpengaruh maka menjadi korban penipuan dan rugi secara finansial. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam menyikapi kabar seperti itu.
Keenam, berkembangnya kata-kata kasar sebagai aktualisasi ujaran kebencian. Sebagian siswa dan anggota masyarakat terpengaruh menggunakan kata-kata kasar yang mana bukan budaya dan kepribadian bangsa. Peran guru dan orang tua sebagai penjaga dan penerus nilai-nilai kebaikan berperan dalam membiasakan kembali anak berbahasa yang sopan santun sesuai dengan budaya dan Pancasila.
Kabar hoax semakin merajalela apabila tidak ada langkah serius dalam menyikapinya. Salah satunya edukasi terhadap pembaca. Edukasi dimulai dari cara mengidentifikasi berita hoax atau bukan. Berita hoax memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan berita resmi. Pertama, memiliki judul yang provokatif, sensasional ataupun bombastis. Isi berita biasanya mengutip dari media resmi dan menambahkannya sesuai keinginan pembuat berita. Kita perlu berhati-hati apabila menjumpai judul seperti itu dan dapat mencari pembanding dengan berita yang sama di media resmi.
Kedua, fakta dan sumber berita dipertanyakan. Fakta akan berkaitan dengan kejadian dan sumber berita. Kabar hoax tidak memiliki asal dan sumber berita yang jelas. Isi berita tidak berimbang dan subjektif sehingga tidak memiliki penjelasan yang lengkap.
Ketiga, alamat situs yang tidak jelas dan tidak resmi. Menghadapi berita hoax yang disebarkan melalui internet, kita perlu mencermati alamat situs atau link berita. Alamat situs yang bukan merupakan portal berita resmi seperti blog dan website yang tidak mencantumkan identitas resmi sebagai institusi pembuat berita, maka patut dipertanyakan. Pembaca sulit untuk meminta klarifikasi atau pertanggungjawaban dari pembuat berita. Apabila pembuat berita sudah terpojok, biasanya situs langsung dihapus. Sangat mudah untuk membuat blog ataupun website di internet baik yang berbayar maupun gratis.
Keempat, keaslian konten yang diragukan. Konten berita yang berisi gambar, foto maupun video dapat dimanipulasi atau diedit sehingga seakan akan seperti aslinya. Untuk pengecekan tersebut dapat melalui mesin pencari seperti google. Hasilnya akan muncul gambar-gambar yang serupa sehingga kita dapat membandingkannya. Kemampuan pembaca dalam olah desain grafis dan video juga dapat digunakan untuk melakukan pengecekan.
Setelah kita dapat mengidentifikasi berita hoax selanjutnya adalah eksekusi. Eksekusi artinya penyikapan terhadap berita yaitu dijadikan lawan yang harus dihapus atau menjadi bahan untuk dipelajari. Eksekusi sebagai lawan artinya berita yang sudah jelas terindikasi hoax akan kita hapus, situs dan pembuat berita kita laporkan kepada yang berwajib. Intinya ditindak secara tegas dan keras sesuai dengan hukum yang berlaku. Supaya referensi semakin kuat dalam melawan hoax, pertama, kita dapat bergabung dengan grup diskusi antihoax seperti Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH) dengan alamat situs turnbackhoax.id, Fanpages Indonesia Hoaxes dengan alamat facebook.com/TurnBackHoax, Grup Sekoci dengan alamat hoaxes.id, dan sebagainya.
Kedua, melaporkan berita hoax kepada pihak yang berkepentingan dan berwajib. Yang berkepentingan yaitu pihak yang disebut dalam kabar hoax dan institusi yang bertanggung jawab terhadap informasi tersebut. Sedangkan yang berwajib yaitu Kementerian Informasi dan Komunikasi supaya situs ditutup serta Kepolisian sebagai polisi cyber untuk melakukan pemantauan dan pengusutan terhadap pembuat kabar hoax.
Sedangkan eksekusi sebagai kawan artinya kita berteman dengan berita hoax sebab akan kita jadikan sebagai bahan untuk literasi dan pembelajaran. Ketika mendapat berita dan gambar hoax misalnya mengenai tragedi Rohingya di Myanmar. Kita akan belajar dua hal, pertama mempelajari sejarah dan perkembangan etnis Rohingya di Myanmar serta upaya penegakan Hak Asasi Manusia. Supaya informasi dan beritanya menjadi akurat, perlu dikumpulkan buku atau referensi dan berita resmi yang terkait untuk dibaca. Hasilnya kita bisa mengetahui informasi yang benar tentang etnis Rohingya dan peristiwa yang menjadi tragedi serta penegakan HAM yang terkait. Pakar revolusi belajar, Jeannete Voss (2003) mengatakan, “Semakin luas Anda mengaitkan (berbagai hal), semakin banyak Anda belajar”.
Yang kedua, mengembangkan literasi digital. Menurut Paul Gilster, literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam banyak format dari berbagai sumber ketika itu disajikan melalui komputer. Di sini kita belajar mengurai gambar, foto dan video yang telah dimanipulasi atau diedit. Untuk mengurai rangkaian gambar tersebut dibutuhkan kemampuan desain grafis dan editing video. Untuk mengetahui benar tidaknya gambar dapat dilakukan dengan bantuan mesin pencari di internet seperti google image. Hasilnya siswa dapat mengurai gambar atau video hoax dan menggunakan kemampuan literasi digital untuk hal-hal yang baik.
Dalam menyikapi berita hoax, penulis memilih menjadikannya sebagai teman untuk bahan pembelajaran terutama di sekolah. Kabar hoax dipilih sesuai dengan pokok bahasan yang terkait sehingga peserta didik menjadi semangat dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Kegiatan ini menantang siswa untuk mencari dan membaca referensi atau berita resmi yang terkait sehingga secara otomatis akan diketahui benar tidaknya berita. Proses kegiatan ini menumbuhkan sikap positif siswa dalam menyikapi informasi hoax. Anak yang terlanjur pernah ikut menyebarkan informasi hoax merasa ikut bersalah dan menyesal.
Sebagai bahan literasi, maka berita hoax menjadi pemicu siswa untuk membaca literatur yang terkait. Kemudian siswa dapat membandingkan berita dengan kenyataan atau ilmu yang sebenarnya dan mengambil simpulan.
Dengan menjadikan berita hoax sebagai bahan literasi dan pembelajaran, pada dasarnya kita menyerang balik tujuan pembuat berita hoax tersebut. Dari tujuan memecah belah menjadi memperkuat kerukunan dan persatuan, menghancurkan menjadi mempersatukan, merugikan menjadi menguntungkan, dan membuat penderitaan menjadi ketabahan. Bahan pembelajaran bagi siswa dapat diambil dari kesalahan maupun kebaikan orang lain, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita mengambil hikmah dan pelajaran dari kabar hoax. Marilah kita gunakan kebebasan dan media sosial secara bijak, bermartabat dan bertanggung jawab.
#antihoax
#marimas
#pgrijateng
Ketiga, kita akan belajar mengenai nilai-nilai dan sikap yang harus dikembangkan ketika berhadapan dengan berita hoax, seperti cermat atau teliti, berpikir kritis, pengendalian diri, sabar atau tidak emosional, taat hukum dengan tidak main hakim sendiri, dan nasionalisme.
Orang yang membuat berita hoax berarti memiliki sikap tidak bertanggung jawab, kejam, mengadu domba, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Demikian juga pembaca yang dengan sengaja ikut menyebarkan atau share.
Dalam menyikapi berita hoax, penulis memilih menjadikannya sebagai teman untuk bahan pembelajaran terutama di sekolah. Kabar hoax dipilih sesuai dengan pokok bahasan yang terkait sehingga peserta didik menjadi semangat dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Kegiatan ini menantang siswa untuk mencari dan membaca referensi atau berita resmi yang terkait sehingga secara otomatis akan diketahui benar tidaknya berita. Proses kegiatan ini menumbuhkan sikap positif siswa dalam menyikapi informasi hoax. Anak yang terlanjur pernah ikut menyebarkan informasi hoax merasa ikut bersalah dan menyesal.
Sebagai bahan literasi, maka berita hoax menjadi pemicu siswa untuk membaca literatur yang terkait. Kemudian siswa dapat membandingkan berita dengan kenyataan atau ilmu yang sebenarnya dan mengambil simpulan.
Dengan menjadikan berita hoax sebagai bahan literasi dan pembelajaran, pada dasarnya kita menyerang balik tujuan pembuat berita hoax tersebut. Dari tujuan memecah belah menjadi memperkuat kerukunan dan persatuan, menghancurkan menjadi mempersatukan, merugikan menjadi menguntungkan, dan membuat penderitaan menjadi ketabahan. Bahan pembelajaran bagi siswa dapat diambil dari kesalahan maupun kebaikan orang lain, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita mengambil hikmah dan pelajaran dari kabar hoax. Marilah kita gunakan kebebasan dan media sosial secara bijak, bermartabat dan bertanggung jawab.
#antihoax
#marimas
#pgrijateng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar