Orang yang paling jujur adalah musuhmu, jadikanlah musuhmu sebagai cermin untuk membuat dirimu lebih baik.
Pukul 06.30 pagi, kulangkahkan kaki yang tanpa bersepatu ini berangkat sekolah. Tujuannya adalah sebuah SD Inpres yang berjarak dua kilometer dari rumah. Siswa yang memakai sepatu berarti dari keluarga yang berada. Namun tidak ada perbedaan atau diskriminasi dari teman maupun guru. Bersepatu atau tidak yang penting sampai sekolah tidak terlambat meskipun guruku sendiri datangnya sering terlambat. Pernah kuberanikan bertanya, jawabnya,"Karena rumah ibu jauh dan harus naik angkot". Mungkin wajar juga pikirku, sebab itu tahun 1983, artinya 32 tahun yang lalu.
Setelah bel berbunyi, kami masuk ruang kelas. Apabila piket hari itu, tentu kami berangkat sekolah pagi-pagi untuk menyapu, sebab pada saat itu piket membersihkan kelas begitu menyenangkan selain dipuji Ibu Suwarni apabila bersih dan memuaskan beliau. Ketika pelajaran menulis hatiku selalu berdebar dan jantung berdetak kencang kalau Ibu Suwarni menunjukku. Kalau ditunjuk berarti menjawab di papan tulis. Apabila jawabanku salah, apa yang terjadi? Bisa ditebak, kalau salah sedikit telingaku dijewer, kalau salah semua pipiku harus direlakan untuk "diteot" atau ditarik dengan tangan.
Kalau aku sering salah menjawab, siap-siap rumahku bakal didatangi Ibu guru, karena setiap pulang sekolah ibu guru pasti lewat depan rumahku. Setelah bertemu ibuku, aku diceritani yang yah ..... yang aku tidak bisa-bisa menjawab. Malu rasanya. Sejak itu aku menganggap guruku adalah musuhku. Aku baru bisa puas apabila mengalahkan guruku dengan menjawab soal-soalnya yang paling sulit.
Sejak itu aku berlatih dan belajar tentang menulis dan berhitung. Masih terngiang di telinga ini akan ucapan Bu guru, "Kalau sering salah maka telingaku bisa seperti kelinci, telinga akan menjadi panjang". Dilanjutkannya, "Atau pipinya akan semakin gemuk seperti orang sakit gigi". Lalu aku berjanji pada diriku, "Akan kutunjukkan kemampuanku menjawab soal-soal dari Bu guru".
Setiap sore aku belajar dan minta dilatih Ibuku di rumah. Pada prinsipnya apa yang akan ditanyakan guru sudah kuantisipasi dengan belajar. Ibu Suwarni ku anggap sebagai musuh yang harus dihadapi dengan persiapan ekstra. Telinga dan pipi ini jangan sampai jadi panjang. Dan .... lama kelamaan menjadi kebiasaan baik bagiku, sebab aku belajar tanpa disuruh suruh sama orang tua. Cuma kasihan juga mereka sebab aku selalu minta dibelikan buku teks mata pelajaran.
Itulah mengapa Ibu guruku tersayang, musuhku yang tanpa tanda jasa betul-betul dapat membangkitkan semangat dan menginspirasi untuk maju, berprestasi dan tidak putus asa. Masih teringat juga apabila aku menjawab dengan benar, beliau berkata, "Bagus, pintar, seratus". Sungguh itu sangat membahagiakan dan menantang hatiku. Mungkin benar bahwa peserta didik harus diberi tantangan atau tepatnya reward and punishment agar maju dan berprestasi serta berakhlak mulia.
Saya suka guru (dok: google.co.id)
Oleh karena itu benar juga ungkapan yang menyatakan bahwa orang yang paling jujur adalah musuhmu, jadikanlah musuhmu sebagai cermin untuk membuat dirimu lebih baik. Ibu guru Suwarni menjadi cermin agar aku bisa lebih baik dari beliau dalam belajar dan bersikap. Terima kasih guruku sekaligus musuhku yang telah berhasil mengajari menulis, membaca, berhitung, menghargai, disiplin, dan bertanggung jawab. Ingin aku mencium tanganmu sebagai tanda sungkem (terima kasih) dan baktiku sebagai seorang murid abadimu. Sekali murid tetaplah menjadi murid bagi guruku, tidak akan murid ini menjadi guru bagi guruku. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku.
Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku"
Kategori Umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar