1. Pengertian Pers
Istilah “pers” berasal dari kata persen Belanda, press Inggris, yang berarti “menekan” yang merujuk pada alat cetak kuno yang digunakan dengan menekan secara keras untuk menghasilkan karya cetak pada lembaran kertas.
Beberapa pengertian pers :
Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI), pers berarti :
1) Alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar.
2) Alat untuk menjepit, memadatkan.
3) Surat kabar dan majalah yang berisi berita.
4) Orang yang bekerja di bidang peresuratkabaran.
UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Dari pengertian pers menurut UU No. 40 Tahun 1999, pers memiliki dua arti, arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pers menunjuk pada lembaga sosial atau pranata sosial yang melaksanakan kegiatan jurnalistik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi. Sedanglan dalam arti sempit, pers merujuk pada wahana / media komunikasi massa baik yang lektronik dan cetak.
Wahana komunikasi massa ada dua jenis, yaitu media cetak dan media elektronik. Media massa elektronik, adalah media massa yang menyajikan informasi dengan cara mengirimkan informasi melalui peralatan elektronik, seperti radio, televisi, internet, film. Sedangkan media massa cetak, adalah segala bentuk media massa yang menyajikan informasi dengan cara mencetak informasi itu di atas kertas. Contoh, Koran, majalah, tabloid, bulletin.
2. Fungsi Pers
Pers sebagai “watchdog” yaitu mata dan telinga, pemberi isyarat, pemberi tanda-tanda dini, pembentuk opini atau pendapat, dan mengarah agenda masa depan.
Penjelasan :
A. Fungsi Informasi : menyajikan informasi karena masyarakat memerlukan informasi tentang berbagai hal yang terjadi di masyarakat, dan Negara.
B. Fungsi Pendidikan : sebagai sarana pendidikan massa (mass education), maka pers situ memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya.
C. Fungsi Hiburan : hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat pers untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot. Hiburan dapat berupa cerpen, cerita bergambar, cerita bersambung, teka-teki silang, pojok, karikatur.
D. Fungsi Kontrol Sosial : adalah siukap pers dalam melaksanakan fungsinya yang ditujukan terhadap perorangan atau kelompok dengan maksud memperbaiki keadaan melalui tulisan. Tulisan yang dimaksud memuat kritik baik langsung atau tidak langsung terhadap aparatur Negara, lembaga masyarakat.
E. Fungsi sebagai Lembaga Ekonomi : Pers adalah sebuah berusahaan yang bergerak di bidang penerbitan. Pers memiliki bahan baku yang diolah sehingga menghasilkan produk yang namanya “berita” yang diminatai masyarakat dengan nilai jual tinggi. Semakin berkualitas beritanya maka semakin tinggi nilai jualnya. Pers juga menyediakan kolom untuk iklan. Pers membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidupnya.
3. Perkembangan Pers di Indonesia
Dr. Krisna Harahap membagi periode perkembangan pers di Indonesia menjadi lima yaitu :
1) Era Kolonial sampai dengan tahun 1945.
2) Era demokrasi Liberal, tahun 1949 - 1959.
3) Era Demokrasi terpimpin, tahun 1959 - 1966.
4) Era Orde Baru, tahun 1966 - 1998.
5) Era reformasi, tahun 1998 - Sekarang.
A. Era Kolonial ( Sampai dengan tahun 1945)
Belanda membuat UU untuk membendung pengaruh pers, antara lain Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah penjajah Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar/majalah Indonesia yang dianggap berbahaya. Kemudian Haatzai Atekelen, adalah pasal yang memberi ancaman hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda.
Di Zaman pendudukan Jepang yang totaliter dan fasistis, orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya tetapi melalui organisasi keagamaan, pendidikan, politik, sebab kehidupan pers pada zaman Jepang sangat tertekan.
Beberapa hari setelah teks proklamasi dikumandangan oleh Bung Karno, telah terjadi perebutan terhadap perusahaan Koran Jepang, seperti Soeara Asia di Surabaya, Tjahaja di Bandung, dan Sinar Baroe di semarang. Koran-koran tersebut pada tanggal 19 Agustus 1945 memuat berita sekitar Kemerdekaan Indonesia, Teks Proklamasi, Pembukaan UUD, Lagu Indonesia Raya. Sejak saat itu Koran dijadikan alat mempropagandakan kemerdekaan Indonesia, walaupun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang.
B. Era Demokrasi Liberal (1945 – 1959)
Di era demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950. Pada pasal 19 Konstitusi RIS 1949, disebutkan “Setiap orang bethak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Kemudian pasal ini juga di cantumkan di dalam UUD Sementara 1950.
Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek samping dari keluhan wartawan lokal terhadap pers Belanda dan Cina, oleh karena itu Negara mencari cara untuk membatasi penerbitan asing di Indonesia, sebab pemerintah tidak ingin membiarkan ideologi asing merongrong UUD, sehingga pemerintah mengadakan pembreidelan pers namun tidak hanya kepada pers asing saja.
Tindakan pembatasan pers terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan, Ruslan Abdulgani, antara lain….”khusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dilakukan atas kegiatan-kegiatan kewartawanan orang-orang asing….”
C. Era Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966)
Beberapa hari setelah Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan penekanan pers terus berlangsung, yaitu penutupan Kantor Berita PIA, Surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po yang dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.
Upaya dalam membatasi kebebasan pers tercermin dalam pidato Menteri Muda Penerangan yaitu Maladi dalam sambutan ketika HUT Kemerdekaan RI ke–14, menyatakan “…Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan Negara, kepentingan bangsa, moral, dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan YME”.
Pada awal tahun 1960, penekanan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi, bahwa akan dilakukan langkah-langkah tegas terhadap surat kabar, majalah-majalah, kantor-kantor berita yang tidak mentaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional. Para wartawan harus mendukung politik pemerintah dan pengambialihan percetakan oleh pemerintah.
D. Era Orde Baru ( 1966 – 1998)
Pemerintahn Orde Baru mencetuskan Pers Pancasila dengan membuang jauh praktik penekanan pers di masa Orde Lama. Pemerintah orde baru sangat mementingkan pemahaman tentang Pers Pancasila. Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), yang dimaksud Pers Pancasila , adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Hakekat Pers Pancasila, adalah pers yang sehat dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat, kontrol sosial yang konstruktif.
Kebebasan ini di dukung dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 11 tahun 1966, yang menjamin tidak ada sensor dan pembreidelan dan setiap warga Negara punya hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin usaha penerbitan Pers (SIUPP).
Kebebasn pers ini hanya berlangsung sekitar 8 tahun, sebab dengan terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974) disinyalir disebabkan berita-berita yang terlalu bebas tanpa sensor yang menyiarkan berbagai hal yang dapat menyulut emosi mahasiswa untuk melakukan demontrasi pada pemerintah orde baru. Oleh karena itu beberapa surat kabar dilarang terbit termasuk Kompas dan di ijinkan terbit kembali setelah permintaan maaf. Para wartawan diingatkan untuk mentaati kode etik jurnalistik.
Pers setelah peristiwa malari cenderung pers yang mewakili penguasa, pemerintah atau Negara, pers tidak menjaankan fungsi kontrol sosialnya dengan kritis, mirip dengan di masa demokrasi terpimpin, hanya bedanya di masa Orde Baru, pers dipandang sebagai institusi politik yang harus diatur dan dikontrol.
E. Era reformasi (1998 – sekarang)
Kalangan pers dapat bernafas lega ketika di era reformasi ini mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 40 tahun 1999 tentang pers. Dalam UU pers tersebut dijamin bahwa kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga Negara (pasal 4). Jadi tidak perlu surat ijin usaha penerbitan pers (SIUPP). Dalam UU ini juga dijamin tidak ada penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana bunyi pasal 4 (ayat 2).
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak, yaitu wartawan utuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Tujuan Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak itu dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau menjadi saksi di pengadilan. Tapi hak tolak tidak berlaku atau dapat dibatalkan demi keamanan, keselamatan negara, atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan, seperti teroris, pemberontak, penjahat, dll.
Dengan adanya kebebasnan pers maka tantangan terberat adalah datang dari kebebasan pers itu sendiri, artinya sanggupkah seorang wartawan atau sebuah perusahaan penerbitan untuk tidak menodai arti kebebasan itu dengan tidak menerima pemberian atau godaan-godaan material yang berhubungan dengan sebuah berita atau publikasi sebuah berita.
4. Kebebasan Pers
Landasan kebeban pers di Indonesia antara lain:
Landasan Idiil: Pancasila
Landasan Konstitusional: UUD 1945
Landasan Yuridis: UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers
Landasan Profesional: Kode Etik Jurnalistik
Landasan Etis: Tata Nilai yang berlaku di masyarakat
Ada 4 faktor yang menyebabkan terjadinya pengendalian kebebasan pers yaitu:
1. Distorsi peraturan perundang-undangan
Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut :
Istilah “pers” berasal dari kata persen Belanda, press Inggris, yang berarti “menekan” yang merujuk pada alat cetak kuno yang digunakan dengan menekan secara keras untuk menghasilkan karya cetak pada lembaran kertas.
Beberapa pengertian pers :
Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI), pers berarti :
1) Alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar.
2) Alat untuk menjepit, memadatkan.
3) Surat kabar dan majalah yang berisi berita.
4) Orang yang bekerja di bidang peresuratkabaran.
UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Dari pengertian pers menurut UU No. 40 Tahun 1999, pers memiliki dua arti, arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pers menunjuk pada lembaga sosial atau pranata sosial yang melaksanakan kegiatan jurnalistik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi. Sedanglan dalam arti sempit, pers merujuk pada wahana / media komunikasi massa baik yang lektronik dan cetak.
Wahana komunikasi massa ada dua jenis, yaitu media cetak dan media elektronik. Media massa elektronik, adalah media massa yang menyajikan informasi dengan cara mengirimkan informasi melalui peralatan elektronik, seperti radio, televisi, internet, film. Sedangkan media massa cetak, adalah segala bentuk media massa yang menyajikan informasi dengan cara mencetak informasi itu di atas kertas. Contoh, Koran, majalah, tabloid, bulletin.
2. Fungsi Pers
Pers sebagai “watchdog” yaitu mata dan telinga, pemberi isyarat, pemberi tanda-tanda dini, pembentuk opini atau pendapat, dan mengarah agenda masa depan.
Penjelasan :
A. Fungsi Informasi : menyajikan informasi karena masyarakat memerlukan informasi tentang berbagai hal yang terjadi di masyarakat, dan Negara.
B. Fungsi Pendidikan : sebagai sarana pendidikan massa (mass education), maka pers situ memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya.
C. Fungsi Hiburan : hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat pers untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot. Hiburan dapat berupa cerpen, cerita bergambar, cerita bersambung, teka-teki silang, pojok, karikatur.
D. Fungsi Kontrol Sosial : adalah siukap pers dalam melaksanakan fungsinya yang ditujukan terhadap perorangan atau kelompok dengan maksud memperbaiki keadaan melalui tulisan. Tulisan yang dimaksud memuat kritik baik langsung atau tidak langsung terhadap aparatur Negara, lembaga masyarakat.
E. Fungsi sebagai Lembaga Ekonomi : Pers adalah sebuah berusahaan yang bergerak di bidang penerbitan. Pers memiliki bahan baku yang diolah sehingga menghasilkan produk yang namanya “berita” yang diminatai masyarakat dengan nilai jual tinggi. Semakin berkualitas beritanya maka semakin tinggi nilai jualnya. Pers juga menyediakan kolom untuk iklan. Pers membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidupnya.
3. Perkembangan Pers di Indonesia
Dr. Krisna Harahap membagi periode perkembangan pers di Indonesia menjadi lima yaitu :
1) Era Kolonial sampai dengan tahun 1945.
2) Era demokrasi Liberal, tahun 1949 - 1959.
3) Era Demokrasi terpimpin, tahun 1959 - 1966.
4) Era Orde Baru, tahun 1966 - 1998.
5) Era reformasi, tahun 1998 - Sekarang.
A. Era Kolonial ( Sampai dengan tahun 1945)
Belanda membuat UU untuk membendung pengaruh pers, antara lain Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah penjajah Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar/majalah Indonesia yang dianggap berbahaya. Kemudian Haatzai Atekelen, adalah pasal yang memberi ancaman hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda.
Di Zaman pendudukan Jepang yang totaliter dan fasistis, orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya tetapi melalui organisasi keagamaan, pendidikan, politik, sebab kehidupan pers pada zaman Jepang sangat tertekan.
Beberapa hari setelah teks proklamasi dikumandangan oleh Bung Karno, telah terjadi perebutan terhadap perusahaan Koran Jepang, seperti Soeara Asia di Surabaya, Tjahaja di Bandung, dan Sinar Baroe di semarang. Koran-koran tersebut pada tanggal 19 Agustus 1945 memuat berita sekitar Kemerdekaan Indonesia, Teks Proklamasi, Pembukaan UUD, Lagu Indonesia Raya. Sejak saat itu Koran dijadikan alat mempropagandakan kemerdekaan Indonesia, walaupun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang.
B. Era Demokrasi Liberal (1945 – 1959)
Di era demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950. Pada pasal 19 Konstitusi RIS 1949, disebutkan “Setiap orang bethak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Kemudian pasal ini juga di cantumkan di dalam UUD Sementara 1950.
Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek samping dari keluhan wartawan lokal terhadap pers Belanda dan Cina, oleh karena itu Negara mencari cara untuk membatasi penerbitan asing di Indonesia, sebab pemerintah tidak ingin membiarkan ideologi asing merongrong UUD, sehingga pemerintah mengadakan pembreidelan pers namun tidak hanya kepada pers asing saja.
Tindakan pembatasan pers terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan, Ruslan Abdulgani, antara lain….”khusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dilakukan atas kegiatan-kegiatan kewartawanan orang-orang asing….”
C. Era Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966)
Beberapa hari setelah Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan penekanan pers terus berlangsung, yaitu penutupan Kantor Berita PIA, Surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po yang dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.
Upaya dalam membatasi kebebasan pers tercermin dalam pidato Menteri Muda Penerangan yaitu Maladi dalam sambutan ketika HUT Kemerdekaan RI ke–14, menyatakan “…Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan Negara, kepentingan bangsa, moral, dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan YME”.
Pada awal tahun 1960, penekanan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi, bahwa akan dilakukan langkah-langkah tegas terhadap surat kabar, majalah-majalah, kantor-kantor berita yang tidak mentaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional. Para wartawan harus mendukung politik pemerintah dan pengambialihan percetakan oleh pemerintah.
D. Era Orde Baru ( 1966 – 1998)
Pemerintahn Orde Baru mencetuskan Pers Pancasila dengan membuang jauh praktik penekanan pers di masa Orde Lama. Pemerintah orde baru sangat mementingkan pemahaman tentang Pers Pancasila. Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), yang dimaksud Pers Pancasila , adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Hakekat Pers Pancasila, adalah pers yang sehat dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat, kontrol sosial yang konstruktif.
Kebebasan ini di dukung dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 11 tahun 1966, yang menjamin tidak ada sensor dan pembreidelan dan setiap warga Negara punya hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin usaha penerbitan Pers (SIUPP).
Kebebasn pers ini hanya berlangsung sekitar 8 tahun, sebab dengan terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974) disinyalir disebabkan berita-berita yang terlalu bebas tanpa sensor yang menyiarkan berbagai hal yang dapat menyulut emosi mahasiswa untuk melakukan demontrasi pada pemerintah orde baru. Oleh karena itu beberapa surat kabar dilarang terbit termasuk Kompas dan di ijinkan terbit kembali setelah permintaan maaf. Para wartawan diingatkan untuk mentaati kode etik jurnalistik.
Pers setelah peristiwa malari cenderung pers yang mewakili penguasa, pemerintah atau Negara, pers tidak menjaankan fungsi kontrol sosialnya dengan kritis, mirip dengan di masa demokrasi terpimpin, hanya bedanya di masa Orde Baru, pers dipandang sebagai institusi politik yang harus diatur dan dikontrol.
E. Era reformasi (1998 – sekarang)
Kalangan pers dapat bernafas lega ketika di era reformasi ini mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 40 tahun 1999 tentang pers. Dalam UU pers tersebut dijamin bahwa kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga Negara (pasal 4). Jadi tidak perlu surat ijin usaha penerbitan pers (SIUPP). Dalam UU ini juga dijamin tidak ada penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana bunyi pasal 4 (ayat 2).
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak, yaitu wartawan utuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Tujuan Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak itu dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau menjadi saksi di pengadilan. Tapi hak tolak tidak berlaku atau dapat dibatalkan demi keamanan, keselamatan negara, atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan, seperti teroris, pemberontak, penjahat, dll.
Dengan adanya kebebasnan pers maka tantangan terberat adalah datang dari kebebasan pers itu sendiri, artinya sanggupkah seorang wartawan atau sebuah perusahaan penerbitan untuk tidak menodai arti kebebasan itu dengan tidak menerima pemberian atau godaan-godaan material yang berhubungan dengan sebuah berita atau publikasi sebuah berita.
4. Kebebasan Pers
(dok: forumnusantara-jabar.blogspot.com) |
Landasan Idiil: Pancasila
Landasan Konstitusional: UUD 1945
Landasan Yuridis: UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers
Landasan Profesional: Kode Etik Jurnalistik
Landasan Etis: Tata Nilai yang berlaku di masyarakat
Kebebasan pers di Indonesia semakin terlihat mapan sejak era reformasi sehingga rawan gangguan. Secara umum ada dua macam gangguan yaitu:
- 1. Pengendalian kebebasan pers yaitu masih ada pihak-pihak yang tidak suka dengan kebebasan pers sehingga perlu ditiadakan kebebasan pers itu.
- 2. Penyalahgunaan kebebasan pers yaitu insan pers memanfaatkan kebebasan yang dimilikinya untuk melakukan kegiatan jurnalistik yang bertentangan dengan fungsi dan peranan yang diembannya. Oleh karena itu tantangan terberat bagi wartawan adalah kebebasan pers itu sendiri.
Ada 4 faktor yang menyebabkan terjadinya pengendalian kebebasan pers yaitu:
1. Distorsi peraturan perundang-undangan
- Distorsi yang pernah muncul yaitu UU No. 21 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers yang didalamnya mengatur SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers). Pada masa orde baru, menteri penerangan dapat membatalkan SIUPP atau seperti breidel.
2. Perilaku aparat
- Yang biasanya terjadi sekarang seperti kekerasan terhadap wartawan oleh oknum aparat atau kekerasan oleh sekelompok massa.
3. Perilaku Pers sendiri
- Perolehan laba menjadi lebih utama daripada penyajian berita yang berkualitas dan memenuhi standar jurnalistik, atau karena keuntungan finansial yang lebih besar.
Penyalahgunaan kebebasan pers seperti penyajian informasi atau berita yang tidak akurat, tidak objektif, bias, sensasional, tendensius, menghina, menyebarkan kebohongan, pornografi, mengeksploitasi kekerasan, dll.
5. Peranan Pers dalam Masyarakat Demokratis Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut :
- 1) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
- 2) Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
- 3) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
- 4) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
- 5) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Ditulis Oleh: Rochimudin ~ Untuk Pendidikan Indonesia
Artikel Pers dalam Mayarakat Demokratis
Semoga bermanfaat.
Terimakasih atas kunjungan dan kesediaan Anda membaca artikel ini.
Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar baik FB comment maupun comment di blog. Sebaiknya berikan comment selain di FB comment agar cepat teridentifikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar